Moderasi Beragama Memperkuat Agama Islam
kekerasan atas nama agama telah terjadi di berbagai negara di dunia. Kasus tersebut mendapat sorotan dari publik, sebagian mereka beranggapan bahwa umat muslim yang melakukan hal tersebut melalui teroris, sehingga agama Islam tercemar karenanya. Peristiwa yang belum lama terjadi di Indonesia pada tahun 2018 adalah peledakan bom bunuh diri di gereja dan markas polisi di Surabaya. Peristiwa tersebut seakan-akan menjadi pemahaman bersama bahwa muslim yang menjadi pelaku aksi terorisme.
Kesadaran umat Islam
yang menginginkan bentuk perdamaian
meyakini bahwa fenomena kekerasan
merupakan aksi dari faham radikalisme.
Islam yang merupakan produk atau ciptaan abad ke-20, terutama di Timur
Tengah, sebagai hasil dari krisis identitas yang berujung pada reaksi dan
resistensi terhadap Barat yang melebarkan kolonialisme dan imperialime ke dunia
IslamTerpecahnya dunia Islam ke dalam berbagai negara dan proyek modernisasi yang dicanangkan oleh
pemerintahan berhaluan Barat, mengakibatkan umat Islam merasakan terkikisnya
ikatan agama dan moral yang selama ini mereka pegang teguh.
Hal ini menyebabkan munculnya gerakan radikal dalam Islam
yang menyerukan kembali ke ajaran Islam yang murni sebagai sebuah penyelesaian
dalam menghadapi kekalutan hidup. Tidak hanya sampai di situ, gerakan ini
melakukan perlawanan terhadap rezim yang dianggap sekuler dan menyimpang dari
ajaran agama yang murni.
“Panggilan untuk moderasi perlu diingatkan kembali kepada
para pemeluk semua agama, filsafat, tradisi budaya, dan masyarakat. Lebih jauh,
perlu advokasi moderasi di muka bumi; di antara umat Islam, Kristianitas,
Yahudi, Hindu, Buddha, dan penganut agama lain,” kata Guru besar Universitas Islam Antar-Bangsa Kuala Lumpur
dan Kepala Institut Kajian Lanjutan Islam Malaysia,. Hashim Kamali dalam
bukunya moderasi islam beragama.Menurutnya
memandang moderasi terutama menyangkut kebajikan moral,.Yang relevan
tidak hanya dengan kehidupan individual, tetapi juga integritas dan citra diri
komunitas dan bangsa.
Selain itu, Yusuf Al-Qardhawi menyatakan pertengahan sebagai
al-tawazun (keseimbangan), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah
yang saling berhadapan atau bertentangan: ruhiyah (spiritualisme) dengan
maddiyah (materialisme); fardiyah (individu) dengan jamaiyah (kolektif);
waqi‟iyah (kontekstual) dengan mitsaliyah (idealisme); tsabat (konsisten)
dengan taghayyur (perubahan).
Oleh karena, itu
keseimbangan (al-tawazun) lanjut Al-Qardhawi; sesungguhnya merupakan watak alam
raya (universum) sekaligus menjadi watak dari Islam sebagai risalah abadi.
Bahkan, amal menurut Islam bernilai saleh, jika amal itu diletakkan dalam prinsip-prinsip
keseimbangan antara hablun minallah dan hablun minannaas.Prinsip keseimbangan
inilah, Islam sebagai hudan (pedoman hidup) telah membimbing umatnya keluar
dari kegelapan menuju cahaya dan mengantarnya menggapai kemajuan dan kejayaan.
Ibnu Katsir dalam kitabnya Jami‟ul Bayan mengatakan istilah umatan wasathan
bermakna sebagai kemampuan-kemampuan positif yang dimiliki umat Islam
sebagaimana dalam kurun pertama sejarahnya yakni dalam capaian-capaian kemajuan
di bidang material maupun spiritual.
Menurut saya, ” Islam yang rahmat dan wasathiyah itu
terwujud pada sikap dan perilaku berislam yang inklusif damai dan
toleran. Sikap tersebut seharusnya lebih ditonjolkan dalam menyikapi
pluralisme dan kebinekaan seperti Indonesia, dan seharusnya pula umat Islam
tampil sebagai “mediator” atau penengah, adil dan fair dalam hubungan antar
kelompok yang berbeda-beda. Hal paling mendasar dalam pengamalan wasathiyah
dalam kehidupan sehari hari adalan
peningkatan moderasi jalan tengah umat
beragama , serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan dari ajaran tiap
kepercayaan”
Kemudian, upaya pemerintah Indonesia untuk memperkokoh
kerukunan umat beragama dalam kehidupan
telah ditetapkan dalam peraturan Menteri Agama nomor 18 tahun 2020
tentang rencana strategis Kementerian Agama tahun 2020-2024 .Adapun, moderasi
beragama dan kerukunan umat beragama yang digagas oleh Kementerian Agama secara
teoritik memiliki empat indikator, yaitu komitmen kebangsaan, anti kekerasan,
akomodatif terhadap kebudayaan lokal, dan toleransi.
Dengan belajar dari kiprah para ulama-santri, kita dapat
memperkuat moderasi beragama karena
karakter umat Islam Nusantara adalah
Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap
masalah-masalah besar bangsa dan negara.
Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur,
sub-kultur, dan agama yang beragam. Islam bukan hanya cocok diterima orang
Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat
akomodatifnya yakni Rahmatan Lil Alamin.
Komentar
Posting Komentar